Sambal dan Devisa

Mencintai negeri ini tidak harus dengan cara yang rumit dan ndakik-ndakik. Banyak cara sederhana yang bisa dilakukan. Salah satunya dengan membuat dan mengganyang sambal di atas. Lha kok bisa?

Cobalah kita cermati bahan-bahan untuk membuat sambal di atas. Cabai segar, tomat, bawang merah, terasi, bahkan minyak kelapa untuk menggoreng semuanya produk lokal. Mungkin hanya bawang putih yang tidak bisa dijamin kelokalannya.

Cabainya berasal dari salah satu pasar tradisional di Nganjuk. Semua mafhum kalau cabai segar di situ bisa jadi berasal dari daerah Kediri, Tuban, Bojonegoro, atau dari daerah Nganjuk sendiri. Jadi jelas cabai lokal.

Sekali waktu memang pernah beredar cabai kering yang konon berasal dari India. Saat stok cabai segar sangat sedikit dan harganya melambung tinggi, cabai kering yang biasanya diimpor oleh pabrik-pabrik besar akhirnya mengalir juga ke pasar-pasar tradisional dan warung-warung makan di pinggir jalan. Tapi sambal di atas jelas menggunakan cabai segar dalam negeri.

Untuk bawang merah jangan dipertanyakan lagi kelokalannya. Nganjuk merupakan sentra bawang merah di Jawa Timur selain Probolinggo. Selain menghasilkan bawang merah mentah, di Nganjuk juga mulai berkembang industri kecil pengolahan bawang merah menjadi bawang goreng.

Terasi, gula, dan garam sebagai bahan pelengkap sambal tidak disangsikan lagi juga merupakan produk dalam negeri. Terasi mungkin sekali berasal dari daerah-daerah pesisir di Jawa Timur, gula dari pabrik-pabrik lokal yang sudah berdiri sejak jaman Belanda, dan garam dari tambak-tambak garam di Madura, Gresik, atau Sidoarjo.

Bukankah gula dan garam juga ada yang impor? Iya. Tapi impor keduanya khusus untuk industri, bukan untuk konsumsi macam sambal di atas. Gula yang diimpor juga bukan gula jadi, tetapi gula mentah (raw sugar) yang akan diolah oleh pabrikan dalam negeri menjadi gula kristal rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman.

Pernah sih ada impor gula mentah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, tapi itu sifatnya kasuistis. Dan saat sambal di atas dibuat, kebijakan kasuistis tersebut sepertinya tidak sedang dilakukan.

Yang patut diduga barang impor adalah bawang putih. Data BPS menunjukkan bahwa Jawa Timur merupakan net importir bawang putih. Bawang putih yang dihasilkan di Jawa Timur tak mampu mencukupi kebutuhan. Di tingkat nasional keadaannya juga sama. Dokumen Outlook Bawang Putih 2020 yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa awal tahun 2021 Indonesia menjadi importir terbesar bawang putih di dunia. Kekurangan pasokan bawang putih yang cukup besar dari tahun ke tahun dipenuhi melalui impor dari Cina, India, Taiwan, dan Amerika Serikat.

Ya, sepertinya hanya bawang putih yang patut dicurigai sebagai barang impor. Lainnya barang lokal semua.

***

Menggunakan produk lokal tentu sangat membantu dalam menghemat devisa. Semakin sedikit bahan yang harus diimpor, semakin sedikit devisa yang harus dikeluarkan. Di masa-masa pemulihan ekonomi yang sempat mengalami kontraksi akibat pandemi Covid-19, segala upaya untuk menghemat devisa harus diapresiasi. Bahkan walaupun wujudnya hanya berupa sambal.

Nah, sambal di atas tidak hanya menghemat devisa tetapi secara tidak langsung juga turut berkontribusi menambah devisa. Ini karena yang dipakai untuk menggoreng adalah minyak kelapa.

Penggunaan minyak kelapa untuk menggoreng akan mengurangi konsumsi minyak goreng sawit di dalam negeri. Berkurangnya konsumsi minyak goreng sawit di dalam negeri akan memperbesar peluang penjualan minyak sawit mentah (CPO) ke luar negeri yang hasilnya akan menambah devisa masuk. Kita tahu harga CPO di luar negeri lagi bagus-bagusnya, sementara tidak gampang menyesuaikan harga di dalam negeri dengan harga keekonomian di tingkat internasional.

Author: denarief

Santri ndeso. Berusaha tetap nyantri dan tetap ndeso.

Leave a comment