Jangan Mabuk! Merokoklah Saja?

Setelah menerima masukan banyak pihak, di antaranya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Presiden Jokowi pada 2 Maret 2021 akhirnya mencabut lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal pada bagian yang terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras (miras) di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua. Peraturan Presiden (Perpres) yang ditetapkan 2 Februari 2021 tersebut sedianya akan merevisi pelarangan penanaman modal di bidang industri minuman keras yang diatur dalam Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Isu pembukaan investasi industri miras pada Perpres Nomor 10 Tahun 2021 memang telah menimbulkan polemik panas di berbagai media (sosial). Maka ketika Presiden Jokowi mencabut beleid tersebut, banyak yang merasa lega dan menyambut gembira. Padahal persoalannya tidak sesederhana itu. Akan ada persoalan lanjutan. Kalau Perpres Nomor 44 Tahun 2016 yang melarang investasi pada industri miras dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Perpres Nomor 10 Tahun 2021, berarti industri miras bukan lagi menjadi bidang usaha tertutup.  Lalu ketika ketentuan industri miras sebagai bidang usaha terbuka terbatas pada wilayah-wilayah tertentu dicabut dari Perpres Nomor 10 Tahun 2021, berarti industri miras tidak lagi menjadi bidang usaha terbuka terbatas. Lantas apa dong hukumnya berinvestasi pada industri miras?

Tulisan ini tidak akan berpanjang-panjang mengulas masalah investasi pada industri miras. Biarlah itu menjadi diskusi ahli hukum sambil didoakan agar segera terbit Perpres revisi yang lebih jelas aturannya. Tulisan ini mencoba mengulas hal lain dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang telanjur identik dengan Perpres investasi miras. Padahal Perpres tidak melulu mengatur soal itu. Selain investasi di bidang miras, Perpres tersebut juga membuka keran investasi pada industri rokok. Apakah sebelumnya investasi pada industri rokok ditutup? Jawabannya: di atas kertas dinyatakan terbuka bersyarat, tetapi pada praktiknya sulit dibuka.

Kontribusi Pengolahan Tembakau

Industri pengolahan tembakau, yang sebagian besar merupakan industri rokok, memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penerimaan negara Indonesia. Selama tahun 2020 Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang diterima negara mencapai Rp. 170,24 triliun atau setara dengan 10,42% dari total pendapatan negara. Jumlah tersebut naik 3,26% dibanding penerimaan CHT tahun 2019 yang mencapai Rp. 164,87 triliun (setara 8,42% pendapatan negara). Kenaikan CHT tersebut terjadi pada saat total pendapatan negara turun 16% lebih dibanding tahun sebelumnya1. Tampaknya sumbangan industri pengolahan tembakau pada penerimaan negara tidak terganggu oleh krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang mulai mendera negeri ini mulai awal Maret 2020.

Kenaikan nilai CHT tersebut ternyata tidak dibarengi dengan pertumbuhan kinerja industri pengolahan tembakau. Pada semester I 2020, tidak lama setelah pandemi Covid-19 bermula, produksi rokok turun. Pada periode tersebut produksi rokok di seantero Indonesia hanya mencapai 146,7 miliar batang, padahal di periode yang sama tahun sebelumya produksinya bisa mencapai 159,6 miliar batang2. Terjadi penurunan sekitar 8%. Akhirnya, di sepanjang tahun 2020 produksi rokok dan hasil tembakaunya lainnya dilaporkan turun hampir 10%3. Penurunan ini terkonfirmasi oleh anjoknya nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pengolahan tembakau tahun 2020 yang terkontraksi (tumbuh minus) sebesar 5,78%4. Didukung oleh kenyataan bahwa banyak sektor lain yang juga terkontraksi, pandemi Covid-19 yang menghambat aktivitas ekonomi masyarakat jelas paling gampang dijadikan kambing hitam. Namun demikian banyak juga yang menuding kenaikan tarif cukai rata-rata sebesar 23% pada tahun 2020 sebagai faktor lain yang tidak bisa dikesampingkan.

Jadi kenaikan CHT adalah akibat kenaikan tarif cukai hasil tembakau dan pajak-pajak lain yang menyertainya, bukan karena produksinya yang meningkat. Ini tidaklah mengherankan mengingat sekitar 78% dari nilai rokok yang harus dibayar konsumen masuk ke kas negara dalam bentuk cukai, PPN, pajak penghasilan, dan pajak daerah rokok.

Industri Hasil Tembakau (IHT): Buka, Tutup, Jepit, Tahan…

Meskipun memiliki peran yang cukup signifikan bagi keuangan negara, industri hasil tembakau cenderung dibatasi perkembangannya. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 menyatakan industri rokok kretek, rokok putih, dan rokok lainnya sebagai bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu. Ijin penanaman modal baru di bidang industri rokok hanya diberikan bagi industri industri rokok skala kecil dan menengah. Itu pun dengan syarat harus bermitra dengan industri rokok skala besar yang sudah memiliki Izin Usaha Industri (IUI) pada bidang usaha sejenis. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M-IND/PER/7/2014 Tahun 2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Usaha Industri Rokok menambahkan beberapa persyaratan. Industri kecil yang akan didirikan harus memiliki bangunan pabrik dengan luas tidak kurang dari 200 m2 serta berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, sementara industri besar yang akan menambah kapasitas harus didasarkan pada kebutuhan untuk memenuhi permintaan luar negeri.

Kementerian Perindustrian pernah menyusun roadmap pengembangan IHT melalui Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tanggal 10 Agustus 2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020. Peta jalan yang diharapkan dapat menjadi rujukan berbagai strategi untuk menjamin pasokan tembakau dan cengkeh bagi IHT, pertumbuhan rokok terkendali secara regresi pada kisaran 5% – 7,4% per tahun, peningkatan nilai ekspor hasil tembakau, dan penguatan kemitraan antara produsen rokok dan petani tembakau yang saling menguntungkan ini pada akhirnya dianulir oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 16P/Hum/2016 tanggal 5 Oktober 2016 karena dinilai bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.

Kebijakan pembatasan di atas sedikit banyak berpengaruh terhadap jumlah perusahaan IHT yang cenderung semakin berkurang dari tahun ke tahun sebagaimana ditunjukkan oleh data BPS dan Ditjen Bea Cukai. Jika pada tahun 2016 jumlah IHT di Indonesia mencapai 751 unit usaha, maka pada tahun 2019 hanya tersisa sekitar 698 unit usaha atau berkurang sebesar 7,06 persen hanya dalam kurun waktu tiga tahun.

Belakangan, mungkin setelah mempertimbangkan besarnya sumbangan terhadap penerimaan negara bahkan pada saat krisis ekonomi, IHT mendapat beberapa kelonggaran. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 21/PMK.04/2020 tentang Kawasan Industri Hasil Tembakau, misalnya, memberikan kemudahan bagi IHT skala kecil dan menengah yang beroperasi di kawasan industri hasil tembakau: tidak harus memiliki pabrik dengan luasan minimal 200 m2 dan penundaan pembayaran cukai sampai 90 hari sejak tanggal pemesanan pita cukai. Menindaklanjuti ketentuan ini sampai 22 Oktober 2020 telah terbentuk dua kawasan industri hasil tembakau (KIHT) di seluruh Indonesia, yaitu KIHT Kudus, Jawa Tengah dan KIHT Soppeng, Sulawesi Selatan. Pemerintah kemudian terus mendorong daerah-daerah lain untuk membentuk KIHT-KIHT serupa melalui penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

Tidak hanya berhenti di situ. Sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, tampaknya Pemerintah juga mulai membuka keran investasi industri rokok melalui Perpres Nomor 10 Tahun 2021. Berbeda dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2016 yang menyebut industri rokok sebagai bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, Perpres Nomor 10 Tahun 2021 sama sekali tidak menyebut industri rokok dalam lampiran-lampirannya. Artinya, industri rokok tidak termasuk dalam bidang usaha prioritas, bidang usaha yang dialokasikan atau kemitraan dengan koperasi dan UMKM, maupun bidang usaha dengan persyaratan tertentu. Oleh karena itu, sesuai kaidah yang ditetapkan oleh Perpres Nomor 10 Tahun 2021 sendiri, industri rokok dapat diusahakan oleh semua penanam modal alias termasuk bidang usaha terbuka.

Menyambut peraturan baru ini, di beberapa daerah mulai bermunculan pengajuan izin pendirian pabrik rokok baru. Segala hambatan sepertinya dibabat habis oleh Perpres Nomor 10 Tahun 2021: tidak perlu rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, tidak harus menjalin kemitraan dengan industri besar yang sudah punya izin industri rokok.

Tapi kenyataannya tidak semulus itu. Bersamaan dengan terbitnya Perpres Nomor 10 Tahun 2021, pada hari dan tanggal yang sama persis, terbit pula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. PP yang merupakan turunan dari omnibus law UU Cipta Kerja ini memuat norma-norma dasar yang harus dipenuhi dalam proses perizinan suatu kegiatan usaha berdasarkan tingkat risiko yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Dalam PP ini, norma perizinan yang diterapkan pada industri rokok masih mengikuti Perpres Nomor 44 Tahun 2016 yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Perpres Nomor 10 Tahun 2021!

Jadi boleh merokok gak sih?

Sumber:

  1. Data penerimaan Cukai Hasil Tembakau dan Pendapatan Negara dapat dilihat di https://www.kemenkeu.go.id/apbnkita.
  2. Diolah dari bahan presentasi Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan: FGD-Dinamika Penerimaan Cukai Selama Pandemi Covid-19. Disampaikan pada FGD secara daring dengan tema “Fenomena Merokok pada Usia Dini, Ibu Hamil, dan Prevalensi Stunting”, diselenggarakan Universitas Brawijaya, 10 Agustus 2020.
  3. https://www.kemenkeu.go.id/apbnkita.
  4. https://bps.go.id/indicator/11/104/1/-seri-2010-laju-pertumbuhan-pdb-seri-2010.html

Author: denarief

Santri ndeso. Berusaha tetap nyantri dan tetap ndeso.

Leave a comment