Makan Dulu atau Salat Dulu?

Gambar: http://www.dailymoslem.com

Pernahkah Anda dihadapkan pada pilihan mendahulukan makan atau mendahulukan salat? Bagi orang kantoran, pilihan ini biasanya muncul saat istirahat siang: waktunya makan, waktunya salat zuhur juga. Pilihan tersebut memang terkadang terasa dilematis. Mendahulukan makan berarti menomorduakan salat. Makan adalah perbuatan duniawi, profan, sementara salat adalah ibadah ukhrawi, perintah Allah. Masak perintah Allah harus ditundukkan oleh kebutuhan duniawi? Tetapi kalau pilihannya salat dulu, pikiran bisa melayang ke makanan mulai dari saat takbiratul ihram sampai salam.

Lalu bagaimana seharusnya?

“…sudah, makan aja dulu. Kecuali kalau waktu salat sudah hampir habis. Kecuali kalau hatimu sudah tenang tak tergoda makanan.”1

Kira-kira demikianlah “jawaban” Kanjeng Nabi atas pilihan dilematis tersebut. “Jawaban” ini diriwayatkan oleh Siti Aisyah dan Ibnu Umar r.a., sebagaimana dikutip oleh Imam Ghazali (1058-1111) dalam Ihya’ Ulumiddin2. Menurut catatan Imam Al-Hafidz Al-Iraqi (1325-1404) dalam sebuah kitab3 yang khusus menelaah periwayatan hadits-hadits yang dikutip di dalam Ihya’, “jawaban” di atas tergolong muttafaq alayh alias disepakati kesahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dan mereka meriwayatkan dari sahabat Nabi yang sama.

Ternyata solusi umumnya adalah makan dulu, bukan salat dulu. Solusi umum ini tentu berlaku bagi kondisi-kondisi yang jamak terjadi. Pengecualiannya ada dua: waktu salat yang sudah mepet dan tak tergoda makanan. Dan pengecualian, di mana pun, selalu berlaku untuk kondisi khusus yang jarang terjadi: untuk keadaan darurat atau untuk orang-orang yang berkualitas spesial.

Waktu Sempit dan Kegentingan dalam Pertimbangan Fikih

Pengecualian pertama bersifat fikih. Kalau waktu salat tinggal 5 menit, maka mendahulukan makan bisa berarti meninggalkan salat tanpa alasan yang dapat diterima oleh syariah. Maka pada kondisi seperti ini salat mesti dikerjakan terlebih dahulu meskipun pada saat mengerjakannya isi kepala dipenuhi godaan makanan. Yang penting salatnya sah memenuhi syarat dan rukunnya. Kualitas salat jadi nomer berikutnya.

Urusan makanan tentu saja tidak segenting dan sedarurat kebakaran atau penanganan pasien yang memerlukan tindakan sesegera dan secepat mungkin. Dalam kondisi darurat4, petugas pemadam kebakaran wajib menunda salat demi memadamkan kebakaran. Seorang dokter tidak boleh meninggalkan pasien gawat darurat tanpa penanganan demi memburu pahala Salat Subuh berjamaah di masjid. Dalam keadaan darurat seperti ini, sebagaimana penjelasan Syaikh Wahbah Zuhaili (1932-2015)5, bahkan orang yang sedang mengerjakan salat sekalipun wajib menghentikan salatnya guna memberikan pertolongan dan mengambil tindakan penyelamatan.

Urusan makanan mungkin bisa menjadi perkara genting dan mendesak bila nyawa menjadi taruhan, saat tanpa makan terlebih dahulu seseorang bisa mati.

Level Yang Lebih Tinggi: Salat Tanpa Gangguan Makan

Dalam salat idealnya tak ada yang lain kecuali Allah. Kanjeng Nabi mencontohkan ihsan, level kualitas beragama di atas beriman dan berislam, adalah ketika seseorang sedang mengerjakan salat ia benar-benar menghadap Tuhannya, menghadirkan seluruh jiwa dan raganya di hadapan-Nya, atau minimal ia merasa sedang diawasi oleh-Nya. Salat yang telah memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi dilakukan dengan pikiran yang melayang-layang ke kantor, rumah, pasar, atau makanan adalah salat yang harus dihindari. Salat model begini, kata Kanjeng Nabi SAW, hanya mendatangkan kecapekan6. Dalam pandangan tasawuf, seseorang harus berada dalam maqam tajrid, mengosongkan diri dari selain Allah, ketika sedang mengerjakan salat.

Ada sedikit orang yang telah selesai dengan “urusan dunia”-nya dan mencapai kualitas spesial. Sudah atau belum makan, orang ini tak akan terganggu dengan urusan makanan ketika sedang salat. Kebanyakan orang, termasuk penulis tentunya, belum bisa seperti itu. Bisa jadi salat didahulukan sebelum makan, tetapi hati diam-diam menyembunyikan hasrat makan, pikiran merancang bagaimana makan tanpa tanggungan sembahyang. Maka sangat wajar bila kemudian Kanjeng Nabi memberi solusi umum agar kita menyelesaikan urusan makan terlebih dahulu sebelum salat agar salat bisa berlangsung khusyuk tanpa gangguan makan.

Ibnu Umar, putera Sayyidina Umar bin Khattab, bukan hanya meriwayatkan hadits yang sedang dibicarakan dalam tulisan ini, tetapi juga mengikuti solusi umum Kanjeng Nabi tersebut. Di dalam Fathul Bari7 disebutkan bagaimana sahabat nabi itu mendahulukan makan malamnya sebelum salat. Bahkan saat sudah mendengar iqamah dan bacaan dari sang imam, beliau tetap dengan tenang melanjutkan makan sampai tuntas, baru kemudian salat.

Lho, kok bisa begitu? Okelah makan dulu. Tetapi apa makannya tak perlu dipercepat biar bisa segera salat?

Memang ada anjuran seperti itu. Dalam urusan waktu makan yang berbarengan dengan waktu salat, sedikit berbeda dengan Ihya’Ulumiddin, hadits-hadits yang ada di Sahih Bukhari justru dengan gamblang memerintahkan makan dengan tenang, tidak tergesa-gesa, sampai tuntas, sebelum mengerjakan salat8.

Solusi Alternatif

Pilihan mendahulukan makan sebelum salat bisa jadi berbenturan dengan anjuran salat berjamaah. Oleh karena itu, ada yang cenderung membatasi pilihan tersebut. Silakan makan dulu kalau perut sudah keroncongan. Kalau perut masih bisa diajak kompromi, sebaiknya ikut salat berjamaah dulu.

Tetapi ada solusi yang lebih menarik. Win-win solution. Di desa-desa, sependek pengalaman penulis, pelaksanaan salat zuhur berjamaah di langgar atau musala, dimundurkan sekitar setengah jam dari awal waktunya. Jika misalnya waktu masuk salat zuhur pukul 12 siang, jam setengah satu baru mulai terdengar azan. Penundaan ini bertujuan memberi kesempatan kepada orang-orang, termasuk imam dan muazin, yang baru pulang dari sawah untuk mandi, makan siang, dan beristirahat sejenak. Begitu juga saat Ramadhan, Anda jangan menggunakan azan di langgar-langgar sebagai petunjuk waktu berbuka. Anda bisa telat berbuka. Azan Maghrib baru dikumandangkan sekitar 15 menit dari datangnya waktu Maghrib. Muazin, imam, dan para jamaah tentu butuh waktu untuk berbuka dulu. Dengan ini, diharapkan tidak ada “Ibnu Umar”-“Ibnu Umar” yang berbuka puasa dengan diiringi Azan Maghrib.

Tradisi seperti ini adalah tradisi yang memahami, bukan tradisi yang hanya menuntut. Ya, seperti Kanjeng Nabi SAW yang selalu memahami umatnya.

Wallahu a’lam.

Catatan/Referensi:

[1] Teks aslinya seperti ini:

إذاحضر العشاء وأقيمت الصلاة فابدؤوا بالعشاء إلا أن يضيق الوقت او يكون ساكن القلب

Apabila makan malam telah tiba sementara salat telah dimulai, maka mulailah dengan makan malam dulu. Kecuali bila waktu salat hampir habis atau hati telah tenang (tak terganggu makanan).

Dalam Fathul Bari (hal. 529) dijelaskan bahwa ada ulama yang memaknai salat dalam hadits ini sebagai salat Maghrib (mempertimbangkan “makan malam”), tetapi ada pula yang memperluas cakupannya untuk salat dan makan secara umum (bukan hanya salat Maghrib dan makan malam saja).

[2] Imam Ghazali, Ihya’ Ulumiddin (Beirut: Dar Ibnu Hazm), edisi I 2005, hal. 186. Edisi ini menyertakan juga kitab telaah atas hadits-hadits dalam Ihya karya Al-Hafidz Al-Iraqi.

[3] Al-Mughni an Hamlil Asfar fil Asfar fi Takhriji ma fil Ihya’ minal Ahbar.

[4] Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab menyebut beberapa kondisi yang membolehkan salat tertunda: tertidur, lupa, jamak ta’khir, dan terpaksa. Untuk orang yang terpaksa, beliau memberi catatan bahwa orang tersebut wajib berusaha sebisa mungkin salat dengan menggunakan isyarat mata, kepala, dan sebagainya sebagai bentuk penghormatan terhadap datangnya waktu salat (lihurmatil waqt). Setelah kondisi memungkinkan, ia harus mengganti (qadla’) salat tersebut (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab. Jeddah: Darul Irsyad. Juz III, hal. 67).

[5] Syaikh Wahbah Zuhaili. 1985. Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuh (Damaskus: Darul Fikr). Juz II, hal. 37.

[6] Ihya’ Ulumiddin, hal. 189.

[7] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari (Riyadh: Dar Thaybah), edisi I 2005, Juz II, hal. 530.

[8] Hadits 573 Sahih Bukhari, misalnya:

إِذا وُضِعَ عَشاءُ أَحَدِكُمْ، وَأُقِيمَتِ الصَّلاةُ، فابْدَؤُوا بِالْعَشاءِ، وَلا يَعْجَلْ حَتَّىَ يَفْرُغَ مِنْهُ

“Bila makan malam sudah dihidangkan sementara salat telah dimulai, maka makanlah dulu. Jangan terburu-buru sampai selesai makan”.

Author: denarief

Santri ndeso. Berusaha tetap nyantri dan tetap ndeso.

Leave a comment