Tajrid

ارادتك التجريد مع اقامة الله اياك في الأسباب من الشهوة الخفيّة. وارادتك الأسباب مع اقامة الله اياك في التجريد انحطاط عن الهمّة العليّة

“Kehendakmu untuk tajrid (mengisolir diri, tidak melakukan usaha), sementara Tuhan menempatkanmu pada maqam seorang yang harus berusaha, itu adalah sebentuk syahwat atau kesenangan nafsu yang tersembunyi. Sebaliknya, kehendakmu untuk ikut-ikutan berusaha, padahal Tuhan memberimu maqam sebagai orang yang seharusnya tajrid, itu adalah sebentuk kemerosotan kelas.” (Imam Ibnu Atha’illah) [1]

***

Sewaktu kuliah dulu, saya bersama teman-teman, saat mendiskusikan sesuatu di sebuah kontrakan sambil ditemani kopi panas, pernah membayangkan sebuah kehidupan yang “indah”. Kami tidak perlu bekerja, hanya perlu kumpul-kumpul, memikirkan nasib umat manusia, ngopi bareng, dan memperbanyak ibadah khusyuk siang-malam, tapi masing-masing dari kami selalu mendapatkan pasokan rejeki serba berkecukupan dari Allah, entah dari mana asalnya, min haitsu laa yahtasib (dengan cara yang tak terduga), tapi seratus persen halal. Entah mengapa sampai detik ini cita-cita mulia itu tak kunjung tercapai. Masing-masing kami harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan atau untuk memperjuangkan sesuatu yang lebih keren. Kami seperti terpenjara dalam hukum sebab akibat ora obah ora mamah, kalau tidak bergerak bekerja, tidak bisa makan. Benar bahwa sebagian kami memperoleh penghidupan min haitsu laa yahtasib, dengan cara yang tak terduga, tapi tetap saja harus berupaya keras mencari-cari cara yang tak terduga itu sampai ketemu.

Saudara-saudara, ternyata cita-cita yang kami anggap mulia itu disebut syahwat tersamar oleh Imam Ibnu Atha’illah. Disebut syahwat karena itu merupakan keinginan pribadi yang melawan kehendak Tuhan. Ketika seorang hamba ditugaskan dan diposisikan oleh Allah untuk berinteraksi dengan dunia dan segala hukum sebab akibat yang ada di dalamnya, tetapi ia berkeinginan untuk meninggalkan semua itu, maka keinginan tersebut adalah sebentuk nafsu syahwat. Disebut tersamar karena keinginan itu dari permukaan tampak sebagai cita-cita mulia: meninggalkan hiruk-pikuk urusan duniawi untuk hanya berinteraksi dengan Allah.

Meninggalkan hiruk-pikuk urusan duniawi, mengosongkan hati, pikiran, dan perbuatan dari selain Allah dalam dunia tasawuf lazim disebut tajrid. Ada orang-orang saleh yang ditempatkan oleh Allah dalam derajat tajrid, tetapi kebanyakan orang berada pada derajat kasb atau asbab. Kebanyakan orang harus bekerja dan berupaya secara lahiriah (kasb) menurut hukum sebab akibat (asbab) dalam memenuhi kebutuhan duniawi atau mencapai tujuan-tujuan mulia mereka sehingga tak mampu sepenuhnya, setiap saat, menghadap Allah serta mengosongkan diri dari selain-Nya. Imam Asy-Syarqawi dalam Syarh ‘l-Hikam menjelaskan bahwa derajat tajrid ditandai oleh dua kondisi. Kondisi pertama adalah ketika kebutuhan duniawi seseorang telah terpenuhi tanpa melalui upaya keras dan hukum sebab akibat yang berarti. Tuhan memberinya rejeki min haitsu laa yahtasib, dengan cara tak terduga, benar-benar tak terduga, tanpa harus berupaya keras mencari cara yang tak terduga itu. Kondisi kedua adalah ketika kebutuhan dan hajatnya tak terpenuhi, ia tidak gusar sedikit pun dan tetap konsisten beribadah. Kebutuhan yang tak terpenuhi tak sedikit pun memalingkannya dari Tuhan.

Kedua kondisi yang menjadi ciri tercapainya derajat tajrid di atas harus ditanggapi dengan penuh  kewaspadaan. Ada kalanya kedua kondisi itu adalah tanda-tanda palsu yang menyebabkan seseorang menjadi jumawa. Ia merasa dekat dengan Allah, merasa menjadi kekasih-Nya, padahal sebenarnya sedang di-istidraj oleh Allah. Sampai detik ini saya kesulitan mencari padanan kata istidraj dalam Bahasa Indonesia. Kata Jawa gunggung saya kira sangat pas untuk menerjemahkannya. Misalnya, seorang Ibu berkata kepada anaknya yang boros uang jajan: “Alhamdulillah, anakku sudah pandai pegang duit. Besok uang jajanmu saya tambah ya.” Si ibu ini sebenarnya sedang menyindir dan meng-nggunggung si anak. Bagi yang paham, gunggung-an sebenarnya lebih dalam dan menusuk daripada nasihat eksplisit yang paling keras sekalipun. Dalam konteks pencapaian tajrid, seorang pembelajar tasawuf (murid) tidak bisa semata-mata mengandalkan kewaspadaan dirinya dalam membedakan apakah kondisi yang dialaminya merupakan istidraj atau bukan. Ia bisa tergelincir bila demikian. Ia butuh seorang guru pembimbing (mursyid) yang mampu memantau perkembangan perjalanan spiritualnya (suluk) menuju Tuhan.

Jika keinginan untuk mencapai derajat tajrid pada saat kondisi spiritual belum memungkinkan adalah sebentuk nafsu syahwat, maka bagaimana jika sebaliknya: derajat tajrid telah tercapai tetapi ingin kembali ke derajat asbab? Imam Ibnu Atha’illah menyebut yang demikian sebagai kemerosotan kelas karena berpaling dari cita-cita luhur. Jadi kedua keinginan tersebut adalah sama buruknya. Keduanya menentang kehendak Tuhan. Berada pada derajat tajrid atau asbab adalah mulia sepanjang diterima dengan ikhlas dan penuh syukur.

Tajrid dan Asbab dalam Aktifitas “Sederhana”

Derajat tajrid atau kasab sebagaimana diuraikan di atas tampak seperti langit dan bumi yang tak bisa disatukan. Ada sekelompok manusia mulia yang ditakdirkan Allah untuk mencapai derajat tajrid dan banyak lainnya yang berada pada derajat kasab. Ulil Abshar Abdalla pernah mengistilahkan kedua golongan itu sebagai manusia kamar dan manusia sosial. Manusia kamar bertugas melaksanakan pekerjaan-pekerjaan kontemplatif, sebagai pertapa yang menjaga kesucian diri, sementara manusia sosial bertugas di tengah gebalau kehidupan sosial yang ramai. [1] Sependek pengetahuan penulis, hampir semua kitab dan tulisan penjelas Al-Hikam menggunakan pendekatan dikotomis seperti itu, kecuali penjelasan yang disampaikan oleh Syaikh Al-Buthi. Dalam Al-Hikam l-‘Athiyyah Syarh wa Tahlil, beliau menunjukkan melalui beberapa contoh bahwa tajrid bisa dilakukan oleh manusia-manusia “biasa” tanpa harus kemrungsung, ambisius, untuk mencapai maqam tajrid. Peran tajrid dan asbab juga bisa dipertukarkan antara sekelompok orang dengan lainnya, bisa berubah antarwaktu dan antarkondisi.

Salah satu contoh yang disampaikan oleh Syaikh Al-Buthi adalah pelaksanaan ibadah haji. Dalam ibadah haji ada sekelompok jamaah yang berkonsentrasi penuh melaksanakan berbagai syarat, rukun, dan anjuran ibadah haji. Mereka untuk sementara waktu meninggalkan segala urusan duniawi. Kelompok jamaah haji ini menurut Syaikh Al-Buthi melakukan aktifitas yang disebut oleh Imam Ibnu Atha’illah sebagai tajrid. Selain itu, untuk mendukung pelaksanaan ibadah haji, ada sekelompok tenaga medis yang bertugas mengobati dan menjaga kesehatan jamaah haji. Mereka tidak bisa sepenuhnya mengikuti ritual haji. Golongan inilah yang melaksanakan aktifitas asbab, ikhtiyar duniawi.

Contoh lain adalah seorang karyawan yang harus bekerja untuk mencari nafkah mulai pukul 9 pagi sampai 7 petang setiap hari. Selama waktu ini, kata Syaikh Al-Buthi, si karyawan ditempatkan oleh Allah pada derajat asbab, ia harus bekerja untuk mencari nafkah. Penghasilan yang diperoleh selama bekerja telah mencukupi semua kebutuhannya. Maka di luar jam itu, ia seharusnya berada pada derajat tajrid: ia harus meninggalkan segala urusan duniawi untuk hanya beribadah kepada Allah. Keinginannya untuk mencari pekerjaan tambahan di luar jam-jam tersebut, misalnya, padahal semua kebutuhannya telah terpenuhi, adalah sebentuk kemerosotan kelas.

Kondisi tajrid seharusnya juga diupayakan semaksimal mungkin oleh setiap muslim saat mendirikan salat. Mulai takbiratul ihram sampai salam, seyogianya ia menyingkirkan segala hal selain Allah, lalu memusatkan hati, pikiran, dan perbuatan hanya kepada-Nya.

Penutup

Mengakhiri perbincangan kita soal tajrid dan asbab, ijinkan penulis mengutip penggolongan manusia oleh Imam Al-Haddad (w. 1720). Imam Al-Hadad  dalam An-Nashaihud Diniyyah wa ‘l-Washaya ‘l-Imaaniyyah membagi manusia berdasarkan orientasi, ambisi, dan ketergantungan mereka terhadap urusan dunia ke dalam tiga golongan. Golongan pertama adalah para nabi dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan Tuhan (shiddiiqin). Mereka tak memiliki sedikit pun ambisi duniawi, senantiasa merasakan kehadiran Tuhan, dan telah selesai dengan urusan dunia. Kalau toh mereka harus berurusan dengan dunia, maka itu hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dan keluarga. Golongan kedua adalah orang-orang saleh dengan sedikit ambisi duniawi yang tidak melenakan mereka dari Allah. Tanpa sedikit ambisi mereka terhadap dunia, siapa yang akan mengatur dunia? Bukankah dunia adalah ladang amal baik untuk akhirat? Dengan demikian, tanpa sedikit ambisi mereka, urusan dunia dan akhirat akan menjadi kacau. Golongan ketiga adalah mereka yang benar-benar tertipu oleh dunia. Ambisi telah memalingkan mereka dari urusan akhirat. Orientasi mereka adalah materi. Pembimbing mereka adalah nafsu duniawi.

Lepas dari dikotomi maqam tajrid dan maqam asbab, mari kita memohon perlindungan kepada Allah agar tidak termasuk dalam golongan ketiga.

Catatan/Rujukan:

  1. Terjemahan petuah bijak Imam Ibnu Atha’illah ini saya pinjam tanpa ijin dari Ulil Abshar Abdalla dalam http://santri.or.id/hikam-2-manusia-kamar-atau-manusia-sosial/
  2. Imam Al-Habib Abdullah ibn Alawi Al-Hadad (Imam Al-Hadad), An-Nashaihud Diniyyah wa ‘l-Washaya ‘l-Imaaniyyah.
  3. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Al-Hikam l-‘Athiyyah Syarh wa Tahlil, Beirut: Dar ‘l-Fikr, 2003.

Author: denarief

Santri ndeso. Berusaha tetap nyantri dan tetap ndeso.

Leave a comment